Kritik Rachmat Tanpa Menghujat

6 Juni 2021, 09:00 WIB
Kubah Masjid Agung (Islamic Center) Lhokseumawe. /Youtube./

JURNAL ACEH-Saat membicarakan dunia arsitektur di Aceh, Razuardi “Essex” Ibrahim, bekas Sekretaris Daerah Aceh Tamiang, menunjuk satu nama: Rachmatsyah Nusfi. Razuardi menganggap Rahmat, nama alias Rachmatsyah Nusfi, bukan sekadar arsitek.

“Dia adalah seorang seniman,” kata Razuardi kepada Jurnal Aceh, Sabtu, 5 Mei 2021.

Aceh, kata Razuardi, memiliki dua sosok yang meletakkan dua pengenal kawasan islami dari dua abad berbeda. Sosok pertama adalah de Bruin, seorang arsitek Belanda. Dialah yang mendisain Masjid Raya Baiturrahman yang berdiri megah di jantung Banda Aceh.

Baca Juga: Ikon Tugu Rencong Lhokseumawe Simbol Perjuangan Melawan Kolonial Belanda

De Bruin, kata Razuardi, berhasil memperkenalkan kubah di akhir abad ke-19 kepada masyarakat Aceh. Saat itu, Gubernur Swart memerintahkan d Bruin membangun kembali masjid tradisional yang dibakar.

Sosok kedua, kata Razuardi, adalah Rachmat, pendesain Masjid Islamic Centre Lhokseumawe. Dia menghadirkan disain masjid yang menganggumkan di awal abad ke-21. Kedua masjid tersebut telah mampu membangun citra kawasan di dua kota berjauhan dengan dua langgam berbeda.

Bagian depan Masjid Agung Lhokseumawe.

Jarang orang bertanya tentang para pencipta dari suatu objek ternikmati baik dalam bentuk elemen estetika maupun dalam bentuk karya seni lainnya. Intervensi mainset terhadap perilaku manusia seperti ini kerap memupuskan apresiasi bagi para pencipta.

Tidak jarang pula, para plagiator mengklaim karya tertentu merupakan hasil pemikirannya. Begitupun, sistem informatika masih diam tanpa bantah untuk mengungkap perjalanan kreativitas para pendahulu, khususnya di Aceh.

Baca Juga: Petuah Abuya Syekh Amran Wali tentang Iman dan Hati

Banyak karya penyair, pelukis, komponis, penulis, dan pengukir Aceh yang luar biasa pada zamannya terlupakan begitu saja. Kiranya perlu dilakukan upaya menggerakkan sistem agar selalu memberi pengakuan terhadap sosok pencipta melalui berbagai cara. Keberadaan para penulis, setidak-tidaknya dapat memberi kontribusi terhadap gejala kontraproduktif serupa itu.

Seperti yang terlihat di Masjid Raya Baiturrahman. Meski mengalami sejumlah perluasan untuk meningkatkan kapasitas, seluruh perubahan itu tidak menghilangkan ciri asal produk goresan arsitek Eropa tersebut.

Razuardi mengatakan langgam yang ditampilkan pada masjid kebanggaan rakyat Aceh itu merupakan keberhasilan kolaborasi tiga karya besar arsitektur dunia yakni, Eropa, Cina, dan India (Gujarat). Tersirat, masjid berkapasitas 7.000 jamaah itu kini tetap menyampaikan pesan tersendiri lewat sosoknya. Bahkan di hampir seluruh Aceh, banyak masjid mengadopsi kubah India meski tidak ada keharusan untuk mengaplikasikan teori Gujarat itu.

Baca Juga: Kerajaan Arab Saudi Belum Undang Pemerintah Indonesia Bahas Urusan Haji

Dan Rachmatsyah, kata Razuardi, tanpa mengabaikan teori Gujarat, mencoba menghadirkan pemahaman lain tentang masuknya Islam ke Aceh. Yakni lewat Persia. Untuk mendisain masjid agung berkapasitas 10.000 jamaah itu, Rachmat membentuk kelompok kerja dari berbagai komunitas. Namun banyak kendala yang dihadapinya. Di antaranya adalah menghadirkan kubah yang mampu bercerita kepada zaman tentang perjalanan Islam ke Aceh.

Dalam pencarian bentuk kubah yang mengakomodir perjalanan sejarah masuknya Islam ke Kerajaan Pasai, Rachmatsyah melakukan sejumlah riset ke beberapa situs sejarah di bekas kerajaan Islam di Aceh. Dia mencoba menyusun kepingan yang tak satupun memunculkan bentuk masjid dari masa itu.

Berbekal keahlian sebagai seorang civil engineer yang dianugerahi bakat alami sebagai pelukis, Rachmat dengan mudah mengekspresikan hasil perjalanan pencarian bentuk kubah yang semula tidak diperhitungkan sebagai sebuah produk mahakarya. Diyakininya bahwa ketangguhan desain masjid akan ditentukan oleh kegagahan mahkotanya yaitu kubah.

Baca Juga: Menteri Agama Mengaku Tak Tahu Alasan Arab Saudi Tolak Haji Indonesia

Menurut Rachmatsyah, kata Razurari, lengkung di kubah Masjid Agung ini mengakomodir bentuk kubah yang lazim digunakan masyarakat Persia. Sementara, pada bidang permukaan kubah tidak dibiarkan kosong masif tanpa tekstur penghias. Motif pengisi tekstur permukaan kubah diakomodir dari ragam hias yang berkembang di Aceh, khususnya peninggalan Kerajaan Pasai.

Pemandangan Masjid Agung Lhokseumawe dari Waduk Pusong, Lhokseumawe.

Pada bagian bawah kubah dihiasi motif bunga yang terhubung tegak antara satu dengan lainnya. Ide pembuatan motif pada bagian bawah kubah ini diilhami oleh pintalan taplak meja yang biasa digunakan masyarakat Aceh untuk menghiasi meja tamu.

Pada puncak kubah, Rachmatsyah melengkapi dengan penangkal petir yang dibentuk serupa boh ru, perlengkapan raja-raja atau hulubalang Aceh terdahulu yang diikatkan dengan sutera kuning bersama kunci peti kerajaan yang diselempangkan di pundak. Akan tetapi boh ru pada mesjid ini diberi motif bunga-bungaan yang banyak dijumpai pada benda-benda kuno peninggalan masa Kerajaan Aceh.

Baca Juga: AHY Usulkan Nama Pahlawan Nasional dari Aceh

Jumlah kubah pada masjid tersebut yakni sembilan buah. Meskipun berbentuk sama, kubah-kubah tersebut terdiri dari tiga tipe ukuran. Tipe pertama, yakni kubah utama dengan posisi tepat di tengah bangunan, berukuran paling besar sebanyak satu unit dengan diameter 19,5 dan tinggi 21,68 meter. Tipe kedua berdiameter 12,17 setinggi 13,9 meter, sebanyak empat buah. Sementara tipe ketiga berdiameter 8,64 dengan tinggi 8 meter sejumlah empat buah.

Kubah-kubah ini terbuat dari glassfibre reinforcement cement (GRC) yaitu suatu produk material konstruksi dari campuran, semen, pasir halus, serat fiber, dan bahan perekat. Saat ini model kubah karya Rachmatsayah telah menghiasi banyak masjid lain di Bireuen, Aceh Utara, bahkan di Banda Aceh.

Rachmatsyah Nusfi

Konsep lengkung Persia berkolaborasi dengan motif Aceh dan pintalan taplak meja, menjadikan sosok kubah temuannya itu mampu menyaingi tampilan kubah produk de-Bruin. Artinya bentuk kubah yang mencirikan Aceh Style.

Baca Juga: Gubernur Aceh: Jangan Ragukan Dukungan Aceh untuk Palestina

Masjid itu, kata Razuardi, adalah bentuk protes Rachmatsyah terhadap teori Gujarat yang diekspresikan de-Bruin lewat kubah hitam Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. “Begitulah protes melalui karya para seniman, tanpa demo dan saling hujat,” kata Razuardi.***

Editor: Fauji Yudha

Tags

Terkini

Terpopuler