Pada situs resmi Leiden University Libraries, saya juga menemukan sebuah arsip foto tahun 1915, yaitu Rumoh Aceh dengan Lonceng Ckradonya di depannya yang berlokasi di Kutaraja.
Baca Juga: 4 Destinasi Wisata Religi Bernuansa Islami di Sidoarjo Jawa Timur yang Wajib Dikunjungi
Lonceng Cakradonya sendiri adalah hadiah dari Kaisar Tiongkok untuk Kerajaan Samudera Pasai, lonceng ini dibawa langsung oleh Laksamana Cheng Ho pada abad ke-15.
Sehingga, ketika sudah berada di Aceh, museum ini pun berada di bawah tanggung jawab Gubernur Sipil dan Militer Aceh, yaitu H.N.A Swart.
Setelah Indonesia merdeka dari penjajahan kolonialisme, Rumoh Aceh ini berada di bawah tanggung jawab sipil, setelah itu jadi milik Pemerintah Aceh.
Baca Juga: 5 Rekomendasi Wisata Trawas Bikin Kagum, Pesona Alamnya Bikin Kamu Nyaman Sampai Lupa Pulang
Sampai pada tahun 1969, atas ide dan prakarsa T. Hamzah Bendahara, Museum Aceh kemudian dipindahkan ke Jalan Sultan Alaidin Mahmudsyah dan diletakkan di atas tanah seluas 10.800 m2.
Setelah dipindahkan, pengelolaannya diserahkan kepada Badan Pembina Rumpun Iskandarmuda (BAPERIS) Pusat. Lima tahun setelah pemindahan bangunan, museum ini akhirnya direhabilitasi.