Sri Lanka Bangkrut Sri Mulyani Nggak Takut, Simak Penjelasannya

- 13 Juli 2022, 13:04 WIB
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers di Nusa Dua, Bali, Rabu 13 Juli 2022
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers di Nusa Dua, Bali, Rabu 13 Juli 2022 /Ade Alkausar/

 

JURNALACEH.COM - Ekonomi sejumlah negara terpukul bertubi-tubi dalam dua tahun setengah terakhir ini. Selain akibat pandemi Covid-19, dihantam pula oleh geopolitik perang Rusia dan Ukraina. Akibatnya inflasi pangan dan energi tak bisa dihindarkan.

Beberapa negara mulai kewalahan menanggung beban subisidi untuk menstabilkan harga-harga yang naik. Inflasi terjadi secara masif di banyak negara. Utang negara, termasuk korporasi hingga rumah tangga membengkak.

Bahkan ada negara yang dilaporkan bangkrut, seperti Sri Lanka. Sejumlah negara lain diprediksi juga akan menyusul, jika kondisi global tidak kunjung membaik.

Baca Juga: Masih Perang, Rusia dan Ukraina Tetap Kirim Delegasi ke 3rd FMCBG G20 di Bali, Bahas Krisis Pangan

Nah, yang mengkhawatirkan Indonesia masuk dalam salah satu dari 15 negara yang berpotensi resesi. Selain Sri Lanka. Bagaimana sebetulnya kondisi ekonomi kita sebenarnya?

Menteri Keuangan Sri Mulyani menjawab santai. Kondisi ekonomi Indonesia Kondisi ekonomi kita tidak separah Sri Lanka. Bahkan dalam soal potensi resesi, kita berada deretan paling bawah dari 15 negara. Dalam data yang dirilis Bloomberg, potensi resesi Indonesia mencapai 3 persen.

Baca Juga: Ketemu Menkeu China, Sri Mul Pamer Indonesia Sudah Setor Dana Kesehatan Hampir Rp 1 Triliun ke FIF

Menurutnya, potensi resesi sebesar itu tak perlu dikhawatirkan secara berlebihan. Kecuali jika kondisinya sudah di atas 70 persen. Sebagaimana Sri Langka yang potensi resesinya sudah menembus 85 persen.

"Saya paham, anda akan menanyakan itu terus-menerus. Saya rasa sebaiknya media melihat saja faktual mengenai tadi, background setiap negara," kata Sri Mulyani saat konferensi pers rangkaian Jalur Keuangan G20 di Nusa Dua, Bali, Rabu (13/7).

Background setiap negara, sebut Sri Mul bisa dilihat dae sisi kinerja pertumbuhan ekonomi, kinerja inflasi, neraca pembayaran, kinerja APBN, kinerja kebijakan moneter, inflasi nilai tukar, kinerja korporasi, hingga kinerja dari kondisi rumah tangga.

Baca Juga: Katanya Pro Pertanian, Tapi Ratusan Hektar Sawah di Blang Pidie dan Jeumpa, 6 Bulan Terbengkalai

"Apakah konsumsinya naik, segala macam," sambungnya.

Meskipun kondisinya tidak mengkhawatirkan, Sri mengaku tetap mewanti-wanti semua pemangku kepentingan agar tidak terlena. Pemerintah akan tetap menggunakan semua instrumen kebijakan, baik itu fiscal policy, monetary policy, OJK di finance sector dan juga regulasi yang lain untuk terus memonitor situasi ekonomi tersebut.

Menurutnya, ekonomi sejumlah negara memang sedang tertekan saat ini. Selain diakibatkan oleh pandemi Covid-19 yang masih belum diketahui kapan akan berakhir, dipukul kembali oleh situasi geopolitik akibat perang Rusia dan Ukraina.

Baca Juga: Siapkan Pesaing Kripto, Bank Sentral G20 Bahas Potensi CBDC, BI Kaji Resikonya

Akibatnya, inflasi, krisis pangan dan energi terjadi dimana-mana. Namun ia memastikan bahwa APBN Indonesia masuk cukup kuat untuk menjadi bantalan atas goncangan tersebut.

"Contoh, kalian bicara inflasi, sebagai salah satu triger. Inflasi kan kenaikan harga. Indonesia ya juga mengalami tekanan inflasi. Kemarin cabe merah naik, dan segala macam," terangnya.

Merespons kondisi itu, mantan Bos Bank Dunia ini bilang pemerintah menyiapkan langkah-langkah untuk bisa menahan inflasi tersebut. Ia mencontohkan harga listrik, BBM yang ditingkat global mengalami kenaikan.

Baca Juga: Aksi Penembakan Terhadap Brigadir J, Begini Tanggapan Jokowi

"Setiap negara yang harganya beda dengan harga internasional, pasti mereka kasih subsidi. Persoalannya negaranya masih punya kemampuan kasih subsidi atau enggak? Maka kelihatan nanti APBN nya," tutur Ani, sapaan akrabnya.

"Ada negara lain yang tidak mampu kasih subsidi, ya berarti rakyatnya harus bayar harga itu," sambungnya.

Lalu bagaimana kondisi Indonesia? Apakah APBN masih cukup kuat untuk menanggung subsidi, untuk menahan goncangan inflasi pangan dan energi global saat ini?

Baca Juga: Apkasindo Aceh Kritik Luhut: Makin Sering Berkata-kata Makin Rendah Harga Sawit Petani

Kata Menkeu, hingga saat ini APBN masih cukup mampu untuk menjadi bantalan tekanan inflasi tersebut. "Kebetulan APBN punya kemampuan," sambungnya.

Namun, ia belum bisa memberikan gambaran bagaimana kondisi APBN di 2023.  Karena selain harus bisa menghitung potensi inflasi tahun depan. pihaknya juga harus menunggu RUU APBN 2023 terlebih dahulu.

"Jadi kalau banyak, ada yang sudah membuat statement. Wong Menteri Keuangannya aja belum bikin Undang-Undangnya, kayaknya sudah tahu banget Undang-Undang itu, saya kagum juga sih sebetulnya," selorohnya.

Baca Juga: Pelaku Penyiraman Air Keras Berhasil Diringkus Polres Metro Bekasi

Ia memastikan bahwa komitmen pemerintah melalui APBN tetap akan berupaya menjadi bantalan berbagai guncangan dalam dua tahun setengah terakhir. Baik akibat pandemi Covid-19, naiknya harga minyak dunia, krisis pangan hingga geopolitik perang Rusia dan Ukraina.

Ia memastikan APBN terus menjadi instrumen untuk menjaga keseimbangan antara menjaga rakyat, ekonomi dan kesehatan APBN itu sendiri. Seperti saat dihantam oleh pandemi Covid-19, maka negara melalui APBN menggelontorkan anggaran untuk memberi perlindungan kesehatan baik itu vaksinasi maupun perawatan di rumah sawit.

"Rakyat sekarang diguncang oleh inflasi, kita coba jadi bantalan untuk inflasi. Korporasi sudah mulai bangkit, beberapa sektor masih ketinggalan, kita coba bantu untuk mereka bangkit. APBN sendiri harus juga tetap sehat," pungkasnya.

Baca Juga: Jokowi dan Prabowo Kembali Tampil Bersama, Kali Ini di Shaf Paling Depan Shalat Ied di Istiqlal

Untuk diketahui, dalam survei yang dirilis Bloomberg, dari daftar 15 negara Asia yang berpotensi mengalami resesi ekonomi, Indonesia berada di peringkat 14 dengan persentase 3 persen.

Sementara itu, Sri Lanka berada di posisi pertama dengan persentase 85 persen, Selandia Baru 33 persen, Korea Selatan 25 persen, Jepang 25 persen, China 20 persen, Hong Kong 20 persen. Selain itu, Australia sebesar 20 persen, Taiwan 20 persen, Pakistan 20 persen, Malaysia 13 persen, Vietnam 10 persen, Thailand 10 persen, Filipina 8 persen, Indonesia 3 persen dan India 0 persen. ***

Editor: Ade Alkausar


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah