“Salah satu alasan kami memilih judul buku ini “from Fears to Tears” yang bermakna dari ketakutan menjadi air mata. Judul ini mendeskripsikan isi tentang penderitaan yang terus berlanjut walaupun proses penyelesaian konflik Aceh melalui MoU Helsinki telah disepakati,” kata Prof Manan mengawali diskusi dalam kegiatan bedah buku tersebut.
Dalam hal ini, Prof Abdul Manan juga menambahkan bahwa dari ketiga peristiwa tersebut, ada perbedaan dan kesamaan yang terjadi dalam proses praktiknya, dimana perbedaannya terletak pada praktik pemenderitaan yang terjadi di rumoh Geudong dan dilakukan secara terus menerus hingga DOM dicabut pada 07 Agustus 1998.
Sedangkan kesamaannya ada pada ketersedatan proses pengusutan dan pengungkapan kebenarannya, sama-sama memakan korban jiwa yang kebanyakan merupakan masyarakat sipil, dan juga sama-sama membuat korban semakin tenggelam dengan harapannya pada pemulihan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah.
Baca Juga: Tragedi Stadion Kanjuruhan, Komnas HAM Akan Mendalami Penggunaan Gas Air Mata
Salah satu penanggap dalam bedah buku ini, Nab Bahani As, sangat mengapresiasi atas terbitnya buku from Fears to Fear yang menurutnya konteks isu yang diangkat sangat penting menjadi dokumentasi atau catatan sejarah.
Sementara itu, Seniman Aceh, Fauzan Santa juga menyarankan kepada penulis agar buku ini di kemas dalam bentuk komik atau difilmkan, sehingga lebih menarik minat pembaca.
Acara Bedah buku yang dirangkai dengan pelantikan Pengurus Forum Alumni Sejarah Kebudayaan Islam ( FASKI) UIN Ar-Raniry periode 2022-2024 ini, juga turut dihadiri oleh raturan mahasiswa, pengurus FASKI, sejarawan, hingga akademisi UIN Ar-Raniry Banda Aceh.***
Update berita dan artikel menarik lainnya di Google News