Putusan MK: Sistem Pemilihan Tetap Terbuka, Berikut Penjelasannya

- 15 Juni 2023, 15:59 WIB
Mahkamah Konstitusi/Instagram/@marioriawa_info/
Mahkamah Konstitusi/Instagram/@marioriawa_info/ /

JURNALACEH.COM- Majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permintaan Para Penggugat dalam sidang gugatan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), sehingga sistem pemilihan umum proporsional terbuka tetap diberlakukan.

“Menolak keseluruhan permohonan dari para Pemmohon,” kata Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman saat membacakan putusan di gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta Pusat, pada hari Kamis, 14 Juni 2023. Dilansir Antaranews.com

Dalam sidang perkara nomor 114/PUU-XX/2022, Hakim Konstitusi Saldi Isra menyatakan bahwa para pemohon berargumen bahwa pelaksanaan pemilihan umum dengan menggunakan sistem proporsional dan daftar terbuka telah mengubah peran partai politik.

Baca Juga: Guru Besar UI Dukung Kabareskrim Telusuri Uang Narkoba di Pemilu 2024

Ucapan Saldi Isra menyatakan bahwa bukti tersebut bertujuan untuk memperjelas bahwa sejak Pemilihan Umum 2009 hingga 2019, partai politik telah kehilangan peran utama dalam kehidupan demokrasi.

Kemudian Isra melanjutkan, sesuai dengan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang menetapkan partai politik sebagai peserta pemilihan umum anggota DPR/DPRD, secara logis, argumen dari para Pemmohon terlalu berlebihan.

“Sampai saat ini, partai politik masih memegang peran utama dan memiliki kekuatan penuh dalam memilih dan menentukan calon yang akan diusung,” ujar Saldi Isra.

Baca Juga: Apresiasi Pelatihan Gakkumdu Pidana Pemilu Oleh Bareskrim, KIPP Minta Bawaslu dan Kejaksaan Dilibatkan

Berkaitan dengan kekhawatiran bakal caleg DPR/DPRD yang tidak sejalan dengan ideologi partai, Saldi Isra memaparkan bahwa partai politik memiliki peran krusial dalam menyeleksi calon yang dianggap mampu mewakili kepentingan, ideologi, rencana, dan program kerja partai politik yang bersangkutan.

Dari sisi lain, terkait dengan kemungkinan terjadinya politik uang dalam sistem proporsional terbuka, Saldi Isra menyatakan bahwa semua jenis sistem pemilihan umum memiliki potensi yang sama untuk terjadinya politik uang.

Contohnya, dalam sistem pemilihan proporsional dengan daftar tertutup, praktik suap sangat memungkinkan terjadi di antara elit partai politik dan para calon anggota legislatif yang berusaha dengan segala cara untuk memperebutkan "nomor urut calon terpilih" agar peluang terpilihnya semakin besar," ungkap Saldi Isra.

Baca Juga: Jelang Pemilu 2024, SMRC: Dominasi Pemilih Kritis Ganjar Bisa Kalahkan Prabowo

Karenanya, menurut pendapat Saldi Isra, praktik suap dalam politik tidak bisa dijadikan landasan untuk mengusulkan sistem pemilihan umum tertentu.

Saldi Isra memastikan bahwa alasan-alasan Para Pemohon, seperti perubahan peran partai politik, pengaruh uang dalam politik, tindakan korupsi, dan kurangnya perwakilan perempuan tidak hanya disebabkan oleh pilihan sistem pemilihan umum.

Saldi Isra menyatakan bahwa dalam setiap proses pemilihan umum terdapat kelemahan yang dapat ditingkatkan dan diperbaiki tanpa mengubah sistem secara keseluruhan.

Baca Juga: Terbaru: Gaji Panwaslu Desa untuk Pemilu 2024 Naik Drastis, Segini Besarannya

Saldi Isra menyatakan bahwa menurut Mahkamah, ada berbagai aspek yang dapat diperbaiki dan dilengkapi dalam pemilihan umum. Aspek-aspek tersebut meliputi sistem partai politik, budaya politik, kesadaran dan perilaku pemilih, hak dan kebebasan berekspresi, kemajemukan ideologi, kaderisasi dalam partai politik, serta kepentingan dan aspirasi masyarakat yang diwakili oleh partai politik.

"Bahwa argumen-argumen yang diajukan oleh para Pemmohon yang pada dasarnya menyatakan bahwa sistem proporsional dengan daftar terbuka, sesuai dengan ketentuan Pasal 168 ayat (2) UU 7/2017, bertentangan dengan UUD 1945, tidak memiliki dasar yang sah menurut hukum secara keseluruhan," kata Saldi Isra.

Delapan hakim konstitusi hadir dalam persidangan ini. Pada hari Kamis, Juru Bicara Mahkamah Konstitusi, Fajar Laksono, memberitahu kepada wartawan di Jakarta bahwa Wahiduddin Adams, seorang Hakim Konstitusi, sedang melaksanakan tugas MK di luar negeri.

Baca Juga: Simak, Tugas dan Wewenang PPS Pemilu 2024

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima permintaan pengujian materi (judicial review) terhadap Pasal 168 ayat (2) Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mengenai sistem proporsional terbuka yang diajukan dengan nomor registrasi perkara 114/PUU-XX/2022 pada tanggal 14 November 2022.

Enam orang yang mengajukan permohonan adalah Demas Brian Wicaksono 'Pemmohon Pertama', Yuwono Pintadi 'Pemmohon Kedua', Fahrurrozi 'Pemmohon Ketiga', Ibnu Rachman Jaya 'Pemmohon Keempat', Riyanto 'Pemmohon Kelima', dan Nono Marijono 'Pemmohon Keenam'.

Delapan dari sembilan fraksi partai politik di DPR RI menolak sistem pemilihan umum (pemilu) proporsional tertutup, yaitu Fraksi Golkar, Gerindra, Demokrat, NasDem, PAN, PKB, PPP, dan PKS. Hanya satu fraksi, yaitu PDI Perjuangan, yang mendukung sistem pemilu proporsional tertutup.***

Update berita dan artikel menarik lainnya di Google News

Editor: Farhan Nurhadi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah