DPP LIRA: Mahkamah Agung Harus Mencermati Tren Hukuman Ringan Kepada Pelaku Korupsi

- 26 Juli 2022, 15:22 WIB
/

JURNALACEH.COM - Putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim terhadap terdakwa perkara korupsi lambat laun kian menjauh dari pemberian efek jera.

Kalimat itu bukan tanpa dasar, sejak tahun 2005 Indonesia Corruption Watch (ICW) telah melakukan pemantauan atas vonis-vonis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung, hasilnya selalu mengecewakan.

Dewan pengurus pusat (DPP) Lumbung Informasi Rakyat (LIRA), menyoroti tren vonis ringan hingga bebas pelaku koruptor yang terjadi di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Banda Aceh di Provinsi Aceh.

Baca Juga: Setelah Menyurati Kemendagri, Yayasan SaKA Menyambangi Gedung KPK Terkait PJ Bupati Abdya

Presiden LIRA Andi Syafrani, didampingi Dewan Pengurus Daerah (DPD) LIRA Aceh Tenggara Muhammad Saleh Selian, di Jakarta mengatakan, berdasarkan pengamatan mereka tren ini sangat dominan terjadi rasio 2022. Demikian pihaknya meminta Mahkamah Agung untuk mengevaluasi para hakim didaerah.

"Mahkamah Agung (MA) harus mencermati tren hukuman ringan kepada pelaku korupsi. Dan perlu untuk mengidentifikasi hakim-hakim yang kerap melakukan hal tersebut," Kata Presiden LIRA Andi Syafrani, kepada Awak Media, Selasa 26 Juli 2022.

Berdasarkan pengamatan pihaknya, sejumlah terdakwa Tipikor yang di Vonis bebas seperti dua terdakwa korupsi pembangunan Jetty Kuala Krueng Pudeng, Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar dengan nilai Rp13,3 miliar. Vonis dibacakan majelis hakim Deni Syahputra.

Baca Juga: KPK Diminta Jelaskan Status Calon Pj Bupati Abdya Rekomendasi DPRK yang Pernah Jadi Saksi Kasus Korupsi

Begitu juga pembacaan vonis bebas empat terdakwa dugaan korupsi pengadaan sapi pada Dinas Peternakan Provinsi Aceh dengan nilai Rp 3,4 miliar, vonis dibacakan majelis hakim Nani Sukmawati.

"Adapun kasus mendapat Vonis ringan kasus Pembangunan Gedung Mobil, Terminal Nagan Raya, dimana majelis hakim memutuskan 2 tahun penjara, denda Rp 50 juta subsidair 3 bulan kurangan," katanya lagi.

Padahal jaksa penuntut umum (JPU) saat itu menuntut mantan kepala perhubungan daerah itu mencapai 7,6 tahun penjara denda Rp 500 juta subsidar 1 tahun kurungan dan uang pengganti Rp 1,5 miliar.

Baca Juga: Citayam Fashion Week Dikhawatirkan Jadi Panggung LGBT, JMM: Lebih Banyak Mudharatnya

"Selain tiga kasus yang kita sebutkan diatas, juga masih ada beberapa kasus lain yang mendapat Vonis ringan hingga bebas baik itu terjadi di Kabupaten maupun kota di Provinsi Aceh, dan sangat wajar publik bertanya - tanya apa sebenarnya yang terjadi dilingkungan pengadilan Tipikor Banda Aceh," terangnya.

Merebaknya tren itu menjadi bias bagi aparat penegak hukum, terlebih para anggotanya
Prof. Sanitiar Burhanuddin, selaku kepala kejaksaan agung Republik Indonesia, dimana seakan tidak profesional melakukan penanganan kasus korupsi.

Namun yang lebih parah terhadap tren ini dapat melukai rasa keadilan ditengah - tengah masyarakat, terutama terhadap kepemimpinan Mahkamah Agung dibawah Prof. Syarifuddin, yang begitu gencar melakukan pemberantasan korupsi.

Namun ironisnya kenapa pihak hakim Tipikor Aceh dengan gamblang memvonis bebas dan memvonis ringan kasus korupsi.

"Tidak hanya Mahkamah Agung, kita Juga menilai Komisi Yudisial Perlu turun ke Aceh, untuk mengevaluasi para hakim yang menanganani perkara korupsi di Provinsi Aceh," pungkasnya.***

Editor: Muharryadi

Sumber: Rilis


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah