Sejarah Aceh: Pandangan Aceh di Mata William Marsden, Penjelajah Asal Inggris

- 3 Januari 2022, 11:46 WIB
Orang Aceh/Foto Facebook Atjeh Darussalam
Orang Aceh/Foto Facebook Atjeh Darussalam /

 

JURNALACEH - Aceh tidak lekang dari sejarah, Peneliti sekaligus penjelajah asal Inggris bernama William Marsden, memulai pengamatan ke Pulau Sumatera pada tahun 1771.

Mengingat sejarah Aceh, penjelajah asal Inggris ini berhasil mengungkapkan hal-hal yang belum terungkap sebelumnya.

Dalam buku penjelajah asal Inggris ini, The History of Sumatra merupakan sebuah karya besar pada abad ke-18. Yang ditulis berdasarkan riset dan observasi yang sudah tergolong canggih waktu itu.

William Marsden menuliskan kesannya ketika membuka bab 21 tentang Aceh.

Baca Juga: Rekrutmen lowongan Kerja BUMN Januari 2022 di PT Yodya Karya, Berikut Persyaratannya

Aceh merupakan satu-satunya kerajaan di Sumatera yang pernah mencapai pengaruh politik yang cukup terpandang bagi bangsa barat.

Sehingga catatan sejarahnya menjadi suatu subjek umum, namun kondisinya saat ini sangat berbeda dengan kondisi saat mereka berhasil mencegah kekuatan Portugis menjejakkan kaki di Sumatera.

Dan para pangerannya menerima duta-duta dari seluruh bangsa besar di Eropa.

William Marsden disatu sisi mengakui kegemilangan sejarah masa lampau Aceh, namun disatu sisi juga mengamati bahwa pada akhir abad ke-18.

Kesultanan Aceh Darussalam mengalami penurunan kekuatan, pengaruh, dan sinarnya telah meredup. Sebagaimana di kutip Jurnalaceh.com dari postingan akun Facebook Atjeh Darussalam yang diunggah pada 2 Desember 2022.

Mengenai penduduk Aceh, William Marsden menulis karakteristik fisik orang Aceh sangat berbeda dengan orang Sumatera lainnya.

Baca Juga: Sejarah Aceh: Peperangan Sengit Rakyat Aceh Melawan Jendral Van Swieten dalam Merebut Keraton Darud Dunia

Mereka biasanya lebih tinggi, lebih kekar, dan kulitnya lebih gelap, bukan berarti mereka mewakili karakteristik fisik penduduk asli.

Tapi berdasarkan berbagai alasan, dapat diasumsikan merupakan percampuran antara orang Batak dan orang Melayu dengan orang Chulia.

Yaitu orang-orang yang mereka sebut sebagai bangsa dari India barat (Pakistan sekarang-penulis) yang sudah sejak dulu sering mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Aceh.

Dari segi wataknya, mereka lebih aktif dan giat daripada beberapa penduduk negeri lainnya.

Mereka lebih bijaksana, memiliki pengetahuan tentang negeri-negeri lainnya, dan sebagai pedagang mereka bertransaksi pada prinsip-prinsip yang lebih luas dan liberal.

Namun, pengamatan terhadap prinsip-prinsip tersebut lebih banyak dilakukan terhadap para pedagang yang berada jauh dari ibu kota.

Dan terhadap tulisan-tulisan mereka dari pada pengamatan yang dilakukan di Aceh yang berdasarkan watak.

Contohnya dalam bertindakan, raja yang sedang berkuasa seringkali berpikiran sempit, memeras dan, menindas.

Bahasa mereka merupakan salah satu dialek yang umum digunakan di kepulauan timur.

Dan kemiripannya dengan bahasa Batak dapat dilihat pada tabel perbandingannya. Namun, mereka tetap menggunakan aksara Melayu.

Sejak masa kanak-kanak, rakyat Aceh sudah diberi pelajaran-pelajaran agama.

Baca Juga: 10 Trik dan Terapi untuk Berhenti Merokok yang Ampuh untuk Dicoba

Sebagaimana gambar pada akhir abad ke-19 Masehi ini memperlihatkan sekelompok anak bersama guru mengaji membaca Al-Qur'an.

Dalam segi agama, mereka menganut agama Islam dan memiliki banyak ulama. Mereka banyak berinteraksi dengan orang-orang asing yang juga beragama Islam.

Bentuk peribadatan dan upacara-upacaranya dijalankan dengan cukup ketat pada aturan.

Terlepas dari beberapa gambaran baik tentang Kesultanan Aceh, sebagaimana para penjelajah Eropa yang lain.

Marsden menarik kesimpulan yang sama, bahwa Aceh merupakan salah satu negeri yang paling tidak jujur dan mengerikan di kawasan timur.

Terutama ketika berhadapan dengan kekuatan-kekuatan Eropa di Asia Tenggara yaitu Inggris, Belanda, Portugis.***

Editor: Yunita

Sumber: Facebook Atjeh Darussalam


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah